BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Teknologi
terbarukan merupakan teknologi yang sedang berkembang pesat dan menjadi pusat
perhatian dunia saat ini. Salah satu teknologi terbarukan yang sedang berkembang
adalah teknologi pemisahan dengan menggunakan membran yang memanfaatkan bahan
terbarukan yaitu polimer alam (Lankaster, 2002).
Pemisahan dengan membran merupakan
teknologi yang banyak dikembangkan sebagai alternatif pengganti proses
pemisahan konvensional. Teknologi tersebut memiliki kelebihan dibandingkan
dengan teknik konvensional, seperti energi yang dibutuhkan rendah, dapat
berlangsung secara kontinyu, prosesnya dapat dikombinasikan dengan proses
pemisahan yang lain, tidak membutuhkan banyak zat aditif, cocok untuk
senyawa-senyawa yang tidak tahan panas, dan tidak menghasilkan limbah (Nunes,
2001)
Membran merupakan lapisan tipis selektif
dan semipermeabel yang berada diantara dua fasa, yaitu fasa umpan dan fasa
permeat. Sifat selektif dari membran ini dapat digunakan dalam proses pemisahan
(Armedi, 2011)
Pemilihan
polimer sebagai bahan baku membran dilakukan berdasarkan faktor strukturalnya.
Faktor struktural ini akan menentukan sifat termal, kimia dan mekanik. Setiap
faktor tersebut akan mempengaruhi sifat instriksik polimer, yaitu
permeabilitas. Membran dapat dibuat dari berbagai material (Mulder, 1991)
Material
membran berupa polimer bahan organik yang banyak digunakan adalah selulosa
asetat. Keunggulan menggunakan selulosa asetat yaitu mudah diproduksi dan bahan
mentahnya berasal dari sumber alam yang dapat diperbaharui (Iriyanti, 2016)
Makroalga atau rumput laut merupakan salah
satu sumberdaya laut yang sangat potensial. Terdapat sekitar 18.000 jenis
rumput laut di seluruh dunia dan 25 jenis diantaranya memiliki nilai ekonomi
tinggi. Indonesia terdapat 555 jenis rumput laut dan empat jenis diantaranya
dikenal sebagai komoditas ekspor, yaitu Euchema sp., Gracilaria sp.,
Gelidium sp. dan Sargasum sp. (Atmaja et al, 1996). Saat
ini potensi lahan untuk budidaya rumput laut di Indonesia sekitar 1,2 juta ha,
namun baru termanfaatkan sebanyak 26.700 ha (Serdiati, 2010).
Rumput
laut Eucheuma cottonii atau dengan nama lain Kappaphycus alvarezii merupakan
jenis rumput laut yang mulanya berasal dari Perairan Sabah (Malaysia) dan
Kepulauan Sulu (Filipina) dan kemudian dikembangkan ke berbagai negara sebagai
tanaman budidaya termasuk di Indonesia. Di Indonesia seluruh produksinya
berasal dari budidaya, antara lain dikembangkan di Selatan pulau Sumatera,
Jawa, Bali, NTB, Sulawesi dan Maluku. Eucheuma cottonii mengandung
selulosa (15%) dalam bentuk lignoselulosa. Untuk memisahkan selulosa dari
lignoselulosa dapat dilakukan melalui proses ekstraksi.
Selulosa
adalah struktur berkomponen pada dinding sel utama pada tumbuhan. Selulosa
merupakan karbohidrat utama yang disintesis oleh tanaman dan menempati hampir
60% komponen penyusun struktur kayu.Selulosa tidak larut dalam air maupun zat
pelarut organik dan mempunyai daya tarik yang tinggi.Selulosa merupakan bahan
dasar dari banyak produksi teknologi kertas, dan serat . Jumlah selulosa di
alam sangat melimpah baik sebagai tanaman atau dalam bentuk sisa pertanian
seperti jerami padi, kulit jagung, kulit tebu dan lain-lain. Pada penelitian
ini selulosa yang digunakan berasal dari rumput laut jenis Eucheuma cottonii.
Pada penelitian sebelumnya (Mutiara Dzikro et al. 2013) sintesis membran selulosa asetat dari residu rumput
laut Eucheuma spinosum diperoleh hasil kadar
selulosa asetat yang di dapat sebesar 11,29%, kadar selulosa asetat yang di
dapat masih belum memenuhi syarat dalam pembuatan membran selulosa asetat, (Silvia,Vany
et al. 2016) membran selulosa asetat
dapat digunakan untuk mengolah air payau menjadi air minum sesuai dengan
Permenkes No.492 Tahun 2010. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh (Rosnelly
et al. 2013) yaitu pembuatan membran
dari Selulosa pulp kayu sengon dengan kadar α-selulosa 92,11% dapat dijadikan
bahan baku polimer membran berupa selulosa diasetat (SDA). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa selulosa asetat yang diperoleh dari hasil sintesis dapat
digunakan sebagai material membran selulosa asetat. Sehingga penelitian ini
dilakukan untuk memanfaatkan sumber daya perairan jenis Eucheuma cottonii sebagai
membran pada pemurnian air.
1.2
Rumusan Masalah
Rumusan masalah
pada penelitian ini yaitu apakah
ekstrak selulosa dari rumput laut Eucheuma cottonii dapat digunakan
sebagai membran selulosa.
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian ini
adalah untuk membuat membran selulosa
dari hasil ekstrak rumput laut Eucheuma
cottonii.
1.4
Batasan Masalah
Batasan
masalah pada penelitian ini antara lain :
1.
Ekstrak
rumput laut merah (kappaphycus alvarezii) dari kabupaten Aceh Jaya diperoleh
dari hasil penelitian Devi Sulfida
2.
Sintesis
dilakukan pada laboratorium kimia fakultas sains dan teknologi UIN Ar-Raniry Banda Aceh
dan laboratorium Balai Riset dan
Standarisasi (BARISTAND) Banda Aceh.
1.5
Manfaat Penelitian
Manfaat dilakukan penelitian ini untuk
memanfaatkan kekayaan sumber daya perairan di Aceh supaya memiliki nilai yang
lebih tinggi serta dapat digunakan
sebagai membran selulosa asetat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1
Klasifikasi Rumput laut (Eucheuma cottonii)
Rumput laut Eucheuma cottoni mempunyai ciri-ciri
yaitu thallus silindris, percabangan thallus berujung runcing atau tumpul,
ditumbuhi nodulus (tonjolan tonjolan), berwarna coklat kemerahan, cartilageneus (menyerupai tulang rawan
atau muda), percabangan bersifat alternates (berseling), tidak teratur serta
dapat
bersifat dichotomus (percabangan
dua-dua) atau trichotomus (sistem percabangan tiga-tiga). Rumput laut Eucheuma cottonii memerlukan sinar
matahari untuk proses fotosintesis. Oleh karena itu, rumput laut jenis ini
hanya mungkin dapat hidup pada lapisan fotik, yaitu pada kedalaman sejauh sinar
matahari masih mampu mencapainya. Di alam, jenis ini biasanya hidup berkumpul
dalam satu komunitas atau koloni (Anggadiredjo, 2006). Berikut adalah
klasifikasi dari Eucheuma cottoni.
Divisi : Rhodophyta
Kelas : Rhodophyceae
Ordo : Gigartinales
Famili : Solieriaceae
Genus : Eucheuma
Spesies : Eucheuma cottonii
Gambar
1. Eucheuma
cottonii
Ciri fisik Eucheuma cottonii adalah mempunyai
thallus silindris, permukaan licin, cartilogeneus. Keadaan warna tidak selalu
tetap, kadang-kadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah.
Perubahan warna sering terjadi hanya karena faktor lingkungan. Kejadian ini
merupakan suatu proses adaptasi kromatik yaitu penyesuaian antara proporsi
pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan (Aslan 1998).
Umumnya Eucheuma cottonii tumbuh dengan baik
di daerah pantai terumbu (reef). Habitat khasnya adalah daerah yang memperoleh
aliran air laut. Kondisi perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut
eucheuma cottonii yaitu perairan terlindung dari terpaan angin dan gelombang
yang besar, kedalaman perairan 7,65 - 9,72 m, salinitas 33 -35 ppt, suhu air
laut 28-30 oC, kecerahan 2,5-5,25 m, pH 6,5-7,0 dan kecepatan arus
22-48 cm/detik (Wenno, 2009).
1.2
Komposisi kimia Eucheuma cottoni
Berikut ini komposisi kimia pada
Eucheuma cottonii berdasarkan hasil penelitian (Rachmawati,Wisnu.2009)
Tabel 1. Uji laboratorium kandungan
nutrisi rumput laut kering
No.
|
Parameter
|
Satuan
|
Hasil
Uji
|
Metode
Uji
|
||
Asin
|
Tawar
|
Alkali
|
||||
1.
|
Air
|
%
|
26,77
|
18,62
|
21,75
|
SNI
01- 2891-1992 Butir 5.1
|
2.
|
Abu
|
%
|
34,38
|
15,13
|
15,77
|
SNI 01- 2891-1992 Butir 6.1
|
3.
|
Lemak
|
%
|
0,51
|
0,58
|
0,55
|
SNI 01- 2891-1992 Butir 8.2
|
4.
|
Protein
|
%
|
1,87
|
2,09
|
1,71
|
Kjeldahl
|
5.
|
Serat
kasar
|
%
|
0,90
|
5,29
|
19,64
|
SNI 01- 2891-1992 Butir 8.2
|
6.
|
Karbohidrat
|
%
|
35,57
|
58,29
|
40,58
|
Perhitungan
|
7.
|
Energi
|
Kkal/100gr
|
154,4
|
264,7
|
174,1
|
Perhitungan
|
8.
|
Karagenan
|
%
|
23,68
|
20,97
|
18,23
|
Rumput
laut jenis Eucheuma cottonii ternyata mengandung kadar abu 19,92 %, protein 2,80 %,lemak 1,78 %, serat kasar
7,02 % dan mengandung karbohidrat yang cukup tinggi yaitu sekitar 68,48 %.
(Luthfy.1988)
1.3
Membran
Membran berasal dari bahasa latin “membrana” yang berarti potongan
kain (Winani,2011). Salah satu material membran
ultrafiltrasi yang berkembang saat ini adalah membran selulosa asetat.
Kelebihan selulosa asetat sebagai material membran adalah mudah untuk
diproduksi dan bahan mentahnya merupakan sumber yang dapat diperbaharui.
Kekurangan membran selulosa asetat adalah sangat sensitive terhadap pH antara 2
sampai 8, biodegradable, yaitu sangat rentan terhadap mikroba yang ada di alam
(Bhongsuwan et al.,2008).
Dalam proses pemisahan dengan
membran, keberhasilan proses pemisahan dapat dipengaruhi oleh struktur
morfologi membran. Struktur morfologi dapat dibentuk karena adanya berbagai
macam faktor, salah satunya adalah dengan post treatment, diantaranya
yaitu dengan cara pemanasan (annealing), coating dan lain
sebagainya. Dengan adanya pemanasan, membran yang dihasilkan akan memiliki
fluks yang lebih rendah dan selektivitas yang lebih tinggi dibandingkan membran
yang tidak diberi perlakuan pemanasan (Kim et al.2001)
perlakuan pemanasan pada membran
menyebabkan adanya penyesuaian dari pergerakan rantai-rantai polimer. Ketika
membran selulosa asetat dipanaskan, pergerakan molekul dari rantai polimer
menjadi lebih mudah sehingga mempengaruhi struktur morfologi pada membran yang
dihasilkan. Disamping itu, perlakuan pemanasan juga menurunkan free volume yang
terbentuk dalam pembuatan membran, dikarenakan meningkatnya pergerakan
pergerakan molekular dalam membran. Semakin sedikit jumlah free volume pada
membran berakibat pada semakin kecil pori atau rongga yang terbentuk, sehingga
membran semakin rapat (Joko.2013).
1.4
Selulosa
Selulosa merupakan substansi organik
yang paling melimpah di alam. Selulosa tidak larut di dalam air dan tidak dapat
dicerna oleh tubuh manusia. Selulosa mendominasi karbohidrat yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan hampir mencapai 50% karena selulosa merupakan bagian yang
terpenting dari dinding sel tumbuh-tumbuhan. Selulosa ditemukan dalam tanaman
yang dikenal sebagai microfibril dengan diameter 2-20 nm dam panjang 100-40000
nm.
Sifat
fisik selulosa adalah zat yang padat, kuat, berwarna putih, dan tidak larut
dalam alkohol dan eter. Kayu terdiri dari 50% selulosa, daun kering mengandung
10-20% selulosa, sedangkan kapas mengandung 90% selulosa.Hidrolisis sempurna
selulosa akan menghasilkan monomer selulosa yaitu glukosa, sedangkan hidrolisis
tidak sempurna akan menghasilkan disakarida dari selulosa yaitu selobiosa (Fan et al, 1982).
Selulosa,
(C6H10O5)n, komponen utama yang ada pada
hampir semua sel tumbuhan. Selulosa terdiri dari rantai panjang polimer yang
terbentuk dari monomer glukosa (Harun,s.2016). Selulosa dapat digunakan di
berbagai industri, antara lain adalah pada pembuatan kertas, industri tekstil, packaging,
dan produk turunannya, seperti glukosa, selulosa asetat, alkohol dan lainnya
(Khalil et al.2014). Dalam lignoselulosa, selulosa terjebak didalam matrik
lignin dan hemiselulosa. Sehingga perlu diperoleh suatu metode untuk
mengekstraksi selulosa didalam lignoselulosa tersebut.
Berdasarkan
derajat polimerisasi (DP) dan kelarutan dalam senyawa natrium hidroksida (NaOH)
17,5%,selulosa dapat dibagi atas tiga jenis, yaitu :
a.
α
- Selulosa (Alpha Cellulose) adalah selulosa berantai panjang, tidak
larut dalam larutan NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan DP (Derajat
Polimerisasi) 600 – 15000. α - selulosa dipakai sebagai penduga dan atau
tingkat kemurnian selulosa. Selulosa dengan derajat kemurnian α > 92 %
memenuhi syarat untuk bahan baku utama
pembuatan propelan atau bahan peledak. Sedangkan selulosa kualitas dibawahnya
digunakan sebagai bahan baku pada industri kertas dan industri kain (serat
rayon). Semakin tinggi kadar alfa selulosa, maka semakin baik mutu bahannya.
Rumus struktur alfa selulosa sebagai berikut
Gambar 2.
Rumus struktur α – selulosa
b.
Selulosa
β (Betha Cellulose) adalah selulosa berantai pendek, larut dalam larutan
NaOH 17,5% atau basa kuat dengan DP (Derajat
Polimerisasi) 15 – 90, dapat mengendap bila dinetralkan.
Gambar 3. Rumus struktur
beta selulosa
c.
Selulosa
γ (Gamma Cellulose) adalah selulosa berantai pendek, larut dalam larutan
NaOH 17,5% atau basa kuat dengan DP (Derajat Polimerisasi) kurang dari 15,
kandungan utamanya adalah hemiselulosa (Nuringtyas, 2010).
1.5
Selulosa Asetat
Selulosa
asetat merupakan salah satu jenis polimer alam turunan selulosa yang memiliki
struktur mikrofibril terorganisir yang larut dalam berbagai pelarut non-polar.
Selulosa asetat memiliki kualitas sangat baik dengan transparansi yang baik,
kekuatan tarik tinggi, tahan panas, daya serap air rendah, dan mudah
terdegradasi secara alami. Sifat tersebut menjadikan selulosa asetat sangat
potensial untuk dikembangkan dalam industri pengemasan, membran dan tekstil (Bahmid et al.,
2014)
Selulosa
asetat memiliki keunggulan sebagai bahan dasar pembuatan membran karena
memiliki struktur asimetrik dengan lapisan aktif yang sangat tipis, dapat
menahan bahan terlarut pada lapisan pendukung yang kasar, tahan terhadap
terjadinya pengendapan, menghasilkan keseimbangan sifat hidrofilik dan
hidrofobik (Kumano et al. 2008)
Konversi
selulosa menjadi selulosa asetat dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu
aktivasi selulosa, asetilasi, dan hidrolisis. Tahap aktivasi selulosa adalah
pengembangan selulosa untuk meningkatkan reaktifitas selulosa dalam bahan baku,
penggembungan serat-serat, dan penurunan derajat polimerisasi. Tahap asetilasi
adalah reaksi antara selulosa dengan asam asetat anhidrida dengan katalis asam
sulfat. Tahap hidrolisis yaitu pelepasan proton secara bertahap hingga
diperoleh selulosa asetat (Meireles et al., 2010)
Gambar
4. Reaksi sintesis selulosa asetat dari selulosa.
(Nurhayati
et al.,2014)
1.6
Poli Etilen Glikol (PEG)
Membran selulosa asetat dari limbah
pelepah pohon pisang memilki sifat biodegradable, tetapi sifat
mekaniknya kurang optimal sehingga usia guna membran menjadi singkat. Oleh
karena hal tersebut, dibutuhkan zat aditif untuk memperbaiki sifatnya, seperti
pemlastis atau senyawa yang memungkinkan plastik yang dihasilkan tidak mudah
rapuh dan kaku (Darni et al., 2009)
Penambahan
aditif dapat dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan sifat permukaan
membran. Terdapatnya aditif dapat mempengaruhi struktur morfologi dan kinerja
membran. Zat aditif yang sering ditambahkan seperti Polivinil Pirolidon (PVP),
Polietilen Glikol (PEG), dan alkohol.
Penambahan
PEG sebagai aditif pada membran dimaksudkan untuk memperbesar pori membran
dengan tetap menjaga ketahanan membran terhadap faktor eksternal. Dapat
dijelaskan bahwa aditif PEG pada awalnya mengisi matriks dari membran selulosa
asetat yang terbentuk. Selanjutnya dalam proses diffusi antara pelarutan dengan
non pelarut, aditif bersama dengan pelarut akan larut ke dalam non-pelarut
sehingga meninggalkan rongga atau pori pada membran sehingga fluks yang
dihasilkan lebih tinggi (Akhlus dan Widiastuti, 2005; Chou dkk., 2007).
1.7
Spektrofometer FTIR
Hasil analisis gugus fungsi menggunakan
FTIR menunjukkan adanya puncak serapan gugus karbonil, C=O (1870–1540 cm-1) dan
gugus ester C-O dari gugus asetil (1320–1210 cm-1) masing-masing pada bilangan
gelombang 1755 cm-1 dan 1235 cm-1. Hal ini menunjukkan terbentuknya senyawa
selulosa asetat dengan adanya puncak yang tajam pada bilangan gelombang 1755
cm-1 dan terjadi penurunan intensitas gugus OH akibat tersubstitusi oleh gugus
asetil.
Gambar 5.
Spektrum FTIR selulosa asetat komersial
BAB
III
METODOLOGI
PENELITIAN
3.1
Waktu Dan Tempat Penelitian
Penelitian ini
dilakukan pada tanggal 20 februari sampai 30 maret 2019, dilakukan pada
laboratorium Kimia Fakultas Sains Dan Teknologi Uin Ar-Raniry , laboratorium
Teknik Kimia Universitas Syiah Kuala dan laboratorium kimia Balai Riset dan
Standarisasi (BARISTAND) Banda Aceh.
3.2
Alat Dan Bahan
Alat
yang digunakan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat
refluks , spektrofotometer FTIR, hot plate, stirrer, oven
Memmert, neraca analitik, kertas saring, desikator, micrometer, viskometer
oswald ,gegep, oven, plat kaca 25x30 cm dan alat- alat gelas yang biasa
digunakan di laboratorium.
3.3
Prosedur Kerja
3.3.1
Sintesis selulosa asetat (Bahmid et al., 2014)
1.
Ditimbang
15 gram ekstrak selulosa.
2.
Ditambahkan
150 mL asam asetat glasial (1:10), diaduk pada suhu 380C selama 60
menit.
3.
Ditambahkan
2% (v/v) asam sulfat p.a, diaduk pada suhu 380C selama 45 menit.
4.
Ditambahkan
100 mL asam asetat anhidrida p.a, kemudian diaduk pada suhu 380C
selama 45 menit.
5.
Hasil
asetilasi ditambahkan aquades sebanyak 10 mL dan asam asetat glasial 20 mL dan
diaduk pada suhu 500C selama 30 menit.
6.
Larutan
disentrifugasi.
7.
Endapan
yang diperoleh dimasukkan ke dalam 500 mL aquades sehingga terbentuk serpihan
selulosa asetat berwarna putih.
8.
Serpihan
selulosa asetat kemudian disaring menggunakan corong dan dicuci dengan akuades
sampai bau asam hilang.
9.
Dikeringkan
dalam oven pada suhu 550C selama 4 jam.
10.
Diperoleh
serbuk kering selulosa asetat.
11.
Hasil
yang diperoleh dikarakterisasi menggunakan instrumen Spektrofometer FTIR.
3.3.2
Penentuan berat molekul selulosa asetat
Penentuan
berat molekul selulosa asetat menggunakan alat viskometer oswald.
1.
Larutan
selulosa asetat disiapkan dengan konsentrasi 0,0; 0,05; 0,1; 0,15; 0,2 dan 0,25
g/25 mL larutan aseton.
2.
Sejumlah
volume larutan tersebut dimasukkan ke dalam viskometer oswald
3.
Ditentukan
waktu alirnya dengan pengukuran berulang.
3.3.3
Pembuatan membran selulosa asetat (Pasla.2006)
Pembuatan
membran melalui fasa inversi dengan cara pencelupan.
1.
10
gram selulosa asetat dilarutkan dalam 45 mL aseton dan diaduk menggunakan
stirer hingga tercampur rata.
2.
Pemlastis
Polietilen glikol (PEG) ditambahkan ke dalam larutan dengan variasi 0 ; 2 ; 4 ;
6 dan 8 % dari bobot selulosa asetat.
3.
Siapkan
kaca yang berukuran 20 x 15 cm yang telah diberi selotip pada kedua sisi yang
berhadapan.
4.
Dituangkan
ke atas penampang kaca tersebut lalu dicetak sebagai lapisan tipis dengan cara
menekan dengan batang stainless lalu menarik larutan polimer tersebut,
sampai diperoleh lapisan tipis. Lapisan tipis ini menempel pada kaca dan dibiarkan
selama 1 menit.
5.
Penampang
kaca direndam di dalam air sampai lapisan tipis yang menempel terlepas dari
penampang kaca.
6.
Lapisan
tipis tersebut dikeringkan.
3.3.4 Karakteristik membran selulosa
3.3.4.1 Uji ketebalan (Akili et al., 2012)
Ketebalan
sampel diukur menggunakan micrometer (ketelitian 0,001 mm)
1.
Sampel
ditempatkan diantara rahang micrometer
2.
Di
ukur lima kali dengan tempat pengukuran berbeda kemudian diambil rata-ratanya.
3.3.4.2 Sifat Mekanik (ASTM 882-91, 1996)
Penentuan kuat tarik dan pemanjangan
diuji menggunakan Universal Testing Machine.
1.
Sampel
dipotong (8 cm x 0,5 cm) dari masing-masing sampel dan dipasang antara grip
mesin.
2.
Kuat
tarik ditentukan berdasarkan beban maksimum pada saat sampel pecah dan
persentase pemanjangan didasarkan atas pemanjangan sampel saat sampel
putus.
3.3.4.3 Sifat Permukaan
Membran
Pengujian sifat permukaan membran
dilakukan menggunakan instrumen Scanning
Electron Microscope (SEM) .
1.
Sampel
dilekatkan pada sample holder
2.
Di
analisis permukaan sampel.
DAFTAR
PUSTAKA
Akili, M.S., U. Ahmad, N.E.
Suyatma. (2012). Karakteristik Edible film dari Pektin Hasil Ekstraksi Kulit Pisang. Jurnal Keteknikan
Pertanian 26(1):39-46.
Aslan LM. 1998. Budidaya Rumput
Laut. Penerbit Kanisius, Jakarta.
Anggadiredja, Jana T.,
Zatnika,Achmad., Purwoto, Heri., Istini, Sri. 2008. Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta.
ASTM. (1996). Standard test
methods for tensile properties of thin plastic sheeting.
D882-91. Annual book of ASTM. Philadelphia : American Society for Testing and Materials.
Bahmid, N A., Khaswar, S., Maddu,
A. (2014). Pengaruh Ukuran Serat Selulosa
Asetat
Dan Penambahan Dietilen Glikol (DEG) Terhadap Sifat Fisik Dan Mekanik Bioplastik. Jurnal Teknologi Industri
Pertanian, 24(3), 226-234.
Bhongsuwan,D.,
& Bhongsuwan Tribop. (2008). Preparation of Cellulose Acetate
Membranes for Ultra- Nano- Filtrations.
Kasetsart J. (Nat. Sci.) 42:311 – 317
Chou,
W.L., Yu, D.G., Chien, M, dan Yang, C.H.J. (2007) Effect of molecular weight and concentration of PEG additives on
morphology and permeation performance
of cellulose acetate. Science direct Separation and Purification Technology.
Darni,
Y., Utami, H., Asriah, S. (2009). Peningkatan Hidrofobisitas dan Sifat Fisik Plastik Biodegradable Pati Tapioka
dengan Penambahan Selulosa Residu
Rumput Laut Eucheuma spinossum. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat.
Lampung: Universitas Lampung.
Fan,
G., Wang, M., Liao, C., Fang, T., Li, J., & Zhou, R. (2013). Isolation of cellulose from rice straw and its conversion
into cellulose acetate catalyzed by
phosphotungstic acid. Carbohydrate Polymers.
94(1): 71– 76.
Jhon Armedi Pinem,
Rozanna Sri Irianty, Vany Silvia. 2016. Sintesis selulosa asetat untuk desanilasi air payau. Jurnal FTEKNIK Volume 3 No.1. Universitas Riau
Kim, I.C., Yun,H.G., & Lee, K.H. (2001). Preparation of
Asymetric Jom FTEKNIK Volume 3
No.1Februari 2016 9 Polyacrylonitrile Membrane with Small Pore by Pahse Inversion and Post-Treatment
Process. Journal of Membrane Science 199: 75-84
Kumano, A., Fujiwara, N. (2008).
Cellulose triacetate membranes for reverse
osmosis.
Li et al. editor. Advanced membrane technology and applications. New Jersey: John Wiley&Sons Inc. Page:
21-46
Lankaster,
M. (2002). Green Chemistry. RSC Paperbacks. Cambridge
Lindu,
M., Puspitasari, T., & Ismi, E. (2010). Sintesis dan Karakterisasi Selulosa
Asetat dari Nata de Coco Sebagai
Bahan Baku Membran Ultrafiltrasi. Jurnal
Sains Materi Indonesia, 12(1), 17–23.
Luthfy,
S. 1988. Mempelajari Ekstraksi Karaginan dengan Metoda Semi refine dari Eucheuma cottonii. Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor,
Bogor. 106 pp.
Meireles,
S., Rodrigues, G., Fernandes, M.Jr.F., Alves, D., Maria, R., & Zeni,
M.
(2010). Characterization of
asymmetric membranes of cellulose acetate from biomass: Newspaper and mango seed. Carbohydrate
Polymers. 80(3): 954–961.
Mulder,
M., 1991, Basic Principles of Membranes Technology, 2nd edition, KluwerAcademic Publishers, Nederlands.
Mulder,
M. (1996). Basic Principles of Membrane Technology, 2nd ed. Dordrecht : Kluwer Academic Publisher.
Nunes,
P.S. (2001). Membrane Technology in the chemical industry. New York : Jon Willey & Sons
Nurhayati.,
Kusumawati, R. (2014). Sintesis Selulosa Asetat Dari Limbah Pengolahan Agar. JPB Perikanan Vol. 9 No.2 :
97–107
Nuringtyas,
Tri Rini. 2010. Karbohidrat. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Pasla,
F R. (2006). Pencirian Membran Selulosa Asetat Berbahan Dasar Selulosa
Bakteri Dari Limbah Nanas. Skripsi.
Bogor: Fakultas Matematika Dan Ilmu
Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor.
Pinnata, R., & Damayanti, A. (2012). Pemanfaatan
Selulosa Asetat Eceng Gondok Sebagai
Bahan Baku Pembuatan Membran Untuk Desalinasi (Skripsi).
Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Rosnelly, C. (2010). Perancangan Proses Pembuatan Membran Ultrafiltrasi Selulosa Asetat secara Inversi Fasa dari
Selulosa Pulp Kayu Sengon (Paraserianthes
falcataria) Thesis).Institut Pertanian Bogor
Serdiati,
N dan Irawati M. W. 2010. Pertumbuhan dan Produksi Rumput Laut
Eucheuma cottonii pada
Kedalaman Penanaman yang Berbeda. Media Litbang
Sulteng. 3(1) : 21 – 26.
Winarni.,Ade,I.
( 2011). Kajian Efektifitas Membran Selulosa Asetat pada Proses
Filtrasi Bertahap untuk Desalinasi Air Laut.Departemen
Fisika.IPB.
No comments:
Post a Comment